Bersama Sukses

pengetahuan rakyat adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai

header photo

 

Tangisan Kursi Kayu Ditengah Nyanyian Para Badut

 

REKIBLIK ETEKEWER I - KURSI KAYU SEHARGA TANGISAN PARA MURID DAN GURU

 

Dalam hitungan hari akan memasuki sebuah babak lanjutan penentuan nasib lima tahun kedepan sejak merdeka 64 tahun lalu. Terjadi sebuah peristiwa yang mengenaskan hati, Tangisan Kursi Kayu  di Tengah Nyanyian Para Badut. Setelah 12 tahun peristiwa repotnasi, rekiblik ini telah berubah wajah. Wajah itu kini dipenuhi make up merk korupsi dan lipstik ambisi.

 

Hanya beberapa hari lagi Rekiblik Etekewer menggelar hajat tahunan, para badut sirkus dagelan pulitik berebut tebar pesona di panggung tanda tanya, mengumbar janji-janji dengan hati berbulu. Apapun ditempuh dan dilakukan, mulai dari strategi tipu muslihat sampai penghamburan uang yang tak jelas asal-usul halalnya. Demi berebut kursi empuk yang menjanjikan bagi perut dan ambisi para badut.

 

Konon sich kabarnya, para eyang pendiri rekiblik ini membuat kursi empuk itu untuk lidah amanat rakyat yang dititipkan pada yang mendudukinya, itu konon kabarnya lho, sekarang???.... ya jangan tanyakan….. lho kok begitu, lha bagaimana tidak begitu, untuk duduk disitu saja cara-cara merampas hak orang, mengambil yang bukan miliknya, tipu sana sini intinya semua cara dilakukan kok, kalau dah duduk ya cari pulihan modal dan kenyangkan perut biar tambah buncit, perut buncit kan tanda sudah makmur tho….. Wach ternyata mahal juga ya harga kursinya, harus dibayar dengan segala macam cara biar dapat, tidak peduli apakah sesuai dengan kepantasan pranata atau tidak.

 

Beberapa waktu lalu masih ditengah masa pesta pora hajatan, media elektronik menampilkan kejadian di belahan lain dari Rekiblik Etekewer, jurusan timur tepatnya di kota Melintang ada sebuah sekolah yang juga berebut dan mempertahankan kursi dengan sengit. Terjadilah adegan Tangisan Kursi Kayu.

 

Tarik menarik, perdebatan sengit saling tawar waktu tak terhindarkan. Tidak tanggung-tanggung para murid beserta gurunya harus mendekap kursi-kursi itu sambil menangis agar tidak diambil dari mereka, sebab kursi itulah satu-satunya yang dimiliki dan dipakai selama ini untuk merajut harapan masa depan yang belum tentu bersahabat pada mereka, bahkan sambil bersujud dalam doa mengucapkan kata yang terbata-bata sembari menahan isak tangis. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak perlindungan ketentraman di saat sedang ujian harus menanggung beban psikologis, bukan untuk kursi sofa empuk melainkan kursi kayu yang keras guna merajut harapan masa depan mereka dengan fasilitas sangat minim dan terbatas, tidak lebih.

 

Lagi-lagi jangan tanyakan ini salah siapa dan tanggungjawab siapa, lha wong sudah tahu sama tahu kan???..... yang paling pasti itu bukan beban tanggung jawab anak-anak sekolah tersebut. Jika sudah begini perilaku klasik memuakkan pasti ditampilkan di panggung yaitu saling  tuding dan lempar tanggung jawab.

 

Satu lagi pemandangan yang sangat tragis dan ironis di Rekiblik Etekewer. Demi sepotong kursi kayu keras, fasilitas minim dan terbatas, harus dibayar dengan beban psikologis anak-anak dan sujud doa yang terbata-bata menahan sesak tangis, di tengah pesta pora para badut membeli kursi empuk, alangkah jauh lebih mahalnya kursi kayu keras di rekiblik ini…

 

Haruskah Rekiblik Etekewer menjadi sarang bagi manusia-manusia tak berhati???... Kursi empuk dan mewah dijual dengan harga teramat murah, badut saja dapat membelinya sambil tertawa tanpa menawar, namun kursi kayu yang keras dijual teramat sangat mahal, harus dibayar dengan isak tangis, sujud doa yang terbata-bata, beban psikologis anak-anak dan kegamangan akan masa depan.

 

Semoga kisah nyata Tangisan Kursi Kayu di Tengah Nyanyian Para Badut ini menjadi sebuah pelajaran berharga guna Meraih Sukses Merdeka yang memerdekakan dan menyejahterakan, bukan sebaliknya. &2y

 


  

Go Back

Comment