REKIBLIK ETEKEWER XXIX – PERTARUNGAN DALAM SEBUAH RUPA
Wajah asli rumah besar yang disebut negri, semakin hari semakin kabur saja. Perkembangan peradaban bak salon kecantikan saling berlomba menyodorkan servis kepentingan dengan segala bentuk iming-iming dapat mempercantik secara instan. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa wajah itu kini semakin asing bagi anak negri sendiri. Bagai genderang perang yang ditalu, masing-masing kepentingan dan aliran menyodorkan kehendak menciptakan arena Pertarungan Dalam Sebuah Rupa.
Konstruksi rumah besar negri ini dibangun dari akar budaya luhur peradaban nusantara yang menyatu dalam kehidupan keseharian, gotong royong menjadi roh yang menjiwai, menghidupi dan mewarnai negri. Berakar dalam, menjadi sebuah kekuatan yang kokoh demi menopang rumah besar bernama negri. Laju perkembangan peradaban tidak dapat dipungkiri telah menempatkan bangsa ini dalam posisi yang mau tidak mau untuk tidak mengisolasi diri dari hubungan arus globalisasi. Penyerahan mandat kedaulatan rakyat pada kepemimpinan nasional menjadi sesuatu yang sangat penting artinya, merupakan pertaruhan harapan seluruh rakyat negri. Oleh sebab itu para pemimpin negri ini harus sadar, untuk menempatkan kepentingan seluruh anak negri di atas kepentingan golongan, kelompok ataupun misi-misi sempit tertentu, sebab teramat besar yang dipertaruhkan yaitu amanat, kehidupan, harkat dan martabat anak negri. Mandat dan amanat yang diberikan sebagai bentuk untuk memastikan bahwa harkat, martabat dan kehidupan negri ini agar diperjuangkan, dijaga dan dilindungi dari gelombang besar globalisasi, dimana yang lemah dan tidak mampu bermain akan terlindas. Sebaiknya para elit mau untuk lebih Belajar Menjadi Beradab karena dipundaknya bukanlah titipan yang dapat digunakan untuk main-main.
Globalisasi bagai gelombang deras yang menghantam dan merobohkan dinding-dinding rumah negri. Bagai mobil formula yang disopiri para pemilik modal dengan kekuatan kapital besar, bermain-main dan melaju kencang dibalik liberalisasi regulasi. Kelompok-kelompok inilah yang cenderung agresif bermain untuk menjadi pemenang dengan segala bentuk lindasannya. Di sini negara harus berperan melalui tangan-tangan para pemimpin dan elitnya untuk dapat memproteksi anak negri dari lindasan. Pertanyaannya, akan berdiri di posisi manakah para pemimpin itu?... Pertarungan Dalam Sebuah Rupa telah dimulai, dan inilah realitas yang ada neoliberalisme atau nasionalisme.
Tidak dipungkiri, realitas menunjukkan suatu kontadiksi, ketika rumah besar negri ini berada dalam posisi terpaan gelombang besar, sebagian oknum para elit baik politisi maupun pejabat justru melakukan pelemahan secara tidak langsung pada fondasi rumah besar tersebut. Para elit yang diharapkan menempatkan dirinya menjadi agen pembangun karakter, pelopor, pengayaan, pencerdasan dan pencerahan makna justru menjadi parasit pemangsa dan terperangkap dalam bentuk-bentuk perilaku tidak elok, artifisialistik, tidak peka. Asyik kecanduan melakukan Jogetan Topeng, melacurkan diri pada kepentingan sempit, yang memabukkan bagai kenikmatan narkoba.
Para elit yang diharapkan menjadi agen penguatan nilai-nilai kultur dari dalam justru menampakkan perilaku-perilaku ironis di panggung-panggung virtual, dan asyik membangun, maaf ”pencitraan yang terkesan murahan”. Harapan agar bangunan masyarakat dengan bentuk arsitektur pendidikan yang berkarakter, berestetika, perpolitikan yang cerdas, berdaulat dan berjatidiri, perekonomian yang mandiri dan tangguh, budaya yang berkepribadian, harkat martabat dan jati diri yang jelas, bagai tersublimasi, menguap tak jelas. Bentuk-bentuk tontonan yang menjual mimpi-mimpi kosong serta pembodohan terselubung lewat kecanggihan tehnologi telah mengambil alih memenuhi setiap ruang waktu dan kehidupan masyarakat, yang notabene ladang subur permainan bisnis para kapitalis. Semakin menguatnya bentuk-bentuk liberalisasi ekonomi, secara tidak langsung menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan kolektif negri ini di dalam menempatkan kebijakan dan strategi secara Empan Papan, guna memproteksi anak negri.
Pertarungan Dalam Sebuah Rupa adalah bentuk Sebuah Perlawanan anak negri yang memiliki sebuah keyakinan bahwa anak-anak negri harus menjadi tuan rumah di negrinya sendiri. Adalah sebuah pertarungan Nasionalisme anak-anak negri dalam bentuk untuk memajukan, memberi ruang, kesempatan dan perlindungan jika harus menghadapi sebuah persaingan dengan lawan yang tidak seimbang, dan sebagainya. Di sini, di tlatah bumi pertiwi tercinta ini anak negri dilahirkan, kecil dan dibesarkan, menghirup udara yang menghidupi nafas, di bumi ini anak negri menyebut tumpah darah. Haruskah anak negri membayar status kewargaannya di negrinya sendiri, setiap butir nasi yang dimasaknya sendiri, setiap wadah yang dibuat dan digunakannya sendiri, udara yang dihirup di rumahnya sendiri, hanya karena aturan dalam bahasa yang tak sanggup dibaca?... karena telah diambil alih oleh mereka yang bukan anak negri sendiri, tergadaikan dalam akuisisi?... Anak-anak negri bukan pengemis, bukan penjilat, anak negri tidak ingin disuapi sebagaimana halnya kami sangat tidak menginginkan kepentingan anak-anak negri dikalahkan demi kepentingan selain untuk anak-anak negri dan bumi pertiwi. Mengesampingkan kepentingan anak negri di bumi pertiwi, di mata anak negri adalah pengkhianatan keji yang tak terampuni. Anak-anak negri Pantang Menyerah melawan neokolonialisme dan neoliberalisme, sebab anak-anak negri memegang teguh Nasionalisme meski harus menghadapi Pertarungan Dalam Sebuah Rupa di negrinya sendiri.