REKIBLIK ETEKEWER X – MENGENANG TAWA DAN SENYUMAN MBAH SURIP
Ngger... sudah menyampaikan rasa turut bela sungkawa belum pada temanmu di Rekiblik Etekewer, barusan kehilangan sosok yang dapat dijadikan guru, guru tanpa murid, Mbah Surip guru bagi mereka yang berpikiran dan berjiwa terbuka. Sudah mbah... lha wong begitu dengar beritanya kulo (saya) langsung ngontak teman di sana dan menyampaikan bela sungkawa. O ya sudah kalau begitu, kita harus tetap menjaga agar simpati dan empati itu tetap hidup dalam diri kita.
Sosok unik itu mampu memberi warna tersendiri dan seakan mempertegas ironi perilaku di negri Rekiblik Etekewer. Coba kamu lihat ngger bagaimana perilaku pejabat publik negri itu yang sering menyakiti hati kawulonya. Bagaimana tidak, sebagai pejabat publik malah masang wajah angker, fasilitas ini itu yang serba wah... belum lagi kalau sudah di jalan pakai apa ngger namanya yang wang wing wang wing mbrebeki kuping (memekakkan telinga) menyuruh pengguna lain minggir, ooo itu namanya sirine mbah... ya sirine... kisruh seperti cakil, ujar simbah. Lha itu khan sebuah contoh perilaku arogan tho ngger, memangnya jalan itu yang buat dia dan khusus untuk dia apa... khan ya nggak tho, jalan itu khan fasilitas umum negri haknya segenap kawulo negri untuk digunakan bersama secara sama tho?...
Penggunaan sirine bersifat khusus dan berlaku sama di dunia, istilahnya apa ngger... internasional mbah, sahut sang cucu... yo..yo...kui mau (itu tadi), seperti pemadam kebakaran, ambulan, corp diplomatik, tamu penting negri, dan itu sudah ada teknis aturannya sendiri. Aturan itu bukan untuk yang sekelas dan urusan-urusan cepethe ngger... apalagi kalau kamu lihat yang di daerah-daerah ngger... wwuiihh...bahkan orang kawinan aja pakai wang wing segala, kalau begini yang gebleg siapa?.. lha bagaimana mau menjadi pelayan dan melayani kawulo?... bagaimana bisa dekat dengan kawulo?... jika perilakunya saja sudah begitu. Itu khan sama saja dengan brandalan, hanya bedanya ditutupi dengan kekuasaan dan kewenangan, tapi ya tetap saja brandal tho?...(brandal kok mimpin kawulo...). Menjadi pelayan kawulo? cuma slogan tanpa makna yang keluar dari contong balap, asal njeplak, karuan lontong balap enak dimakan dan bikin kenyang, lha kalau contong balap yo mung marai neg kui... (ya cuma bikin neg itu). Pejabat publik kok tidak merasa memiliki dan dimiliki publik, aneh tho?...
Bandingkan dengan sosok yang baru saja meninggalkan kita selama-lamanya itu, sangat kontras khan ngger?... dengan kesederhaan, ketulusan diri, totalitas pengabdian pada profesi melalui seni budaya, selalu tampil dengan wajah penuh senyum dan tawa khas yang amat sangat bersahabat dengan siapa saja. Semua itu menjadikannya sebagai sosok yang setiap tampil dimanapun berada sudah memberikan rasa sukacita bagi orang banyak, sebuah hubungan tanpa sekat dan sangat mencair... coba perhatikan apa ada yang menangis sedih di saat sosok itu tampil? Tidak ada khan?.. semua larut dalam tawa dan sukacita, ya tho?... tangis itu ada ketika semua orang merasa kehilangan dengan kepergiannya yang serasa mendadak, sebuah bukti betapa dekatnya sosok itu di hati orang banyak. Tahu nggak ngger apa yang telah dia berikan pada kita?... hatinya ngger... hatinya... itulah sebabnya ketulusan itu sangat kita rasakan, karena dia berikan hatinya sehingga kita bisa dekat dan menyatu dalam ketulusannya. Bukan dengan kekuasaan, bukan dengan jabatan, bukan dengan wajah angker dan selaksa polah perilaku cakil...
Begitu banyak pelajaran yang sangat berharga dan bermanfaat ditinggalkan buat kita semua. Bukan teori ruwet dan bertele-tele, bukan tulisan yang berlembar-lembar, namun dirinya sendiri sebagai pelajaran itu, pelajaran bagi banyak orang. Satu hal yang tidak semua orang sanggup melakukannya ngger... karena dibutuhkan hati, totalitas, ketulusan, kesederhanaan yang konsisten dan apa adanya. Kalau simbah boleh mengistilahkan sosok itu bak mutiara yang muncul di tengah belantara silang sengkarut peradaban perilaku para cakil.
Menjadi dekat dengan kawulo negri dibutuhkan sebuah hati yang tulus untuk diberikan bersama senyuman tulus yang senantiasa menghiasi wajah, bukan kewenangan, kekuasaan dan wajah angker yang justru hanya akan membuat kawulo tersakiti dan muak.
Pembelajaran tanpa kata-kata Mbah Surip mengejawantah dalam senyum dan tawa yang sederhana. Selamat jalan Mbah Surip, selamat jalan guru bagi pikiran dan jiwa-jiwa terbuka, pulanglah dengan tenang menghadap Sang Khalik, terimakasih untuk hatimu yang kau berikan, doa kami bersamamu selalu, senyum dan tawamu bersama kami selalu, Amien... We Love You Full...